WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK
MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN
TITO
DELAPAN SABDA
DEWA
PANGERAN Matahari
merangkul gadis yang duduk dipangkuannya itu
lalu dengan penuh nafsu menciumnya berulang kali. “Kekasihku,
sebelum kita bersenang-senang di ruangan dalam katakana apa
hasil peneyelidikanmu…”
Si gadis
tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan.
“Salah…” katanya seraya membelai rambut di belakang kepala Pangeran
Matahari.
“Eh, apa yang
salah?” tanya sang Pangeran.
“Kita
bersenang-senang dahulu baru nanti aku memberitahu hasil
penyelidikanku!”
Pangeran Matahari
tertawa lebar. Ditekapnya kedua pipi si gadis lalu
dikecupnya bibirnya lumat-lumat. Sambil menggeliat gadis dalam pelukan
menurunkan tangannya ke bawah. Pangeran Matahari cepat memegang
tangan itu seraya berkata. “Ingat kekasihku, urusan besar harus
dikerjakan lebih dulu. Soal bersenang-senang jika semua udah rampung
seribu hari pun kau suka aku akan melayani…”
Si gadis tampak
cemberut tapi serta merta pejamkan matanya dan mengeluarkan
suara lirih ketika Pangeran Matahari menyelinapkan
wajahnya ke balik pakaiannya di bagian dada.
“Aku tidak tahan.
Benar-benar tidak tahan Pangeran…” bisik si gadis setengah
memelas.
Pangeran Matahari
tarik kepalanya lalu berkata. “Ceritakan padaku hasil
penyelidikanmu…”
Si gadis melihat
sepasang mata Pangeran Matahari memandang tak berkesip. Ada
sorotan sinar aneh yang membuatnya jadi tak berani menatap.
Dengan sikap manja dia menggelungkan tangan kanannya di leher
sang Pangeran lalu bertanya, “Apa saja yang kau ingin ketahui,
Pangeran?”
“Pertama sudah
pasti menyangkut musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng.
Menurut dua bersaudara Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan,
mereka berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit di luar Kartosuro.
Aku telah meminta mereka membuktikan dengan membawa kepala Wiro Sableng ke hadapanku. Kau sendiri apa yang kau ketahui?”
“Kemungkinan
mereka memang telah membunuh Pendekar 212. Hanya saja
berlaku ayal tidak membawa bukti. Tapi setahuku tempo hari mereka
telah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu sakti
hitam milik Pendekar 212. Apakah itu belum cukup dijadikan tanda
atau bukti bahwa musuh besarmu itu benar-benar sudah tewas? Atau
mungkin dua senjata itu palsu belaka?” Pangeran Matahari
mengusap pinggul si gadis lalu gelengkan kepala. “Kapak
dan batu sakti itu asli. Tidak palsu. Tapi menyaksikan kepala Pendekar
212 jauh lebih meyakinkan daripada hanya mendengar sekedar
laporan dari dua kaki tanganku itu...“
“Turut
penyelidikanku, juga berdasarkan beberapa keterangan orang-orang kita,
Pendekar 212 tidak diketahui lagi berada di mana. Ada yang menduga
mayatnya dilarikan orang ke satu tempat di tengah laut di
selatan muara Kali Opak....”
“Hemmm.... Kalau keteranganmu benar mengapa
kaki tanganku di kawasan itu belum datang memberitahu?!”
ujar Pangeran Matahari pula seraya mendongak dan usap dagunya yang
ditumbuhi janggut pendek kasar.
“Kawasan laut selatan berada di bawah
pengawasan penguasa tertentu yang memiliki beberapa pembantu.
Salah seorang dari mereka adalah Ratu Duyung. Ada tanda-tanda
sesuatu telah terjadi di kawasan itu. Beberapa aliran hawa sakti
mengalami benturanbenturan aneh....”
“Ratu Duyung dari dulu memang tidak pernah
mau tunduk terhadap kita...” kata Pangeran Matahari
pula. “Sudah saatnya kita memikirkan untuk melakukan sesuatu terhadap
makhluk setengah manusia setengah ikan itu....”
“Pangeran,” kata gadis yang duduk di
pangkuan Pangeran Matahari. “Kalau aku boleh mengusulkan,
pada saat sekarang ini sebaiknya kita jangan mencari musuh baru
dulu. Salah-salah urusan besar yang tengah kau laksanakan bisa jadi
tak karuan... “
“Hemmm.... Kau betul. Usulmu aku terima!”
kata Pangeran Matahari lalu menghadiahkan satu kecupan di
bibir gadis itu. “Kau lihat sendiri Pangeran. Aku tidak
seperti gadis-gadis lain yang jadi kekasihmu. Mereka hanya
menyediakan badan. Aku bukan cuma badan. Tapi juga pikiran dan sumbang
saran....”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak.
Sambil menepuk-nepuk bahu si gadis dia berkata. “Itulah
kelebihanmu, kekasihku. Itu sebabnya kau mendapat tempat utama di
sisiku.”
“Kalau begitu apakah sekarang kita bisa
bersenang-senang?” tanya si gadis. Lalu kaki kirinya
digelungkan ke pinggul sang Pangeran. Pakaiannya yang tipis tersingkap.
Ketihatan pahanya yang bagus mulus dan putih.
Pangeran Matahari mengusap paha itu
berulang kali lalu berkata. “Masih belum saatnya kekasihku.
Harap kau suka bersabar. Kau harus kembali melakukan penyelidikan.
Aku harus tahu apa yang sebetulnya telah terjadi dengan
Pendekar 212. Apa benar dia sudah menemui ajal?”
“Nada suaramu masih saja membayangkan rasa
was-was Pangeran,” kata si gadis pula. lalu
tangannya meraba ke bagian dada Pangeran Matahari. Di balik jubah hitam dan
pakaian yang dikenakannya dia menyentuh sebuah benda
yang terikat kencang ke dada sang Pangeran. “Kau telah memiliki
Kitab Wasiat Iblis. Mengapa harus merasa gelisah dan selalu memikirkan
Pendekar 212?”
“Ada ujar-ujar mengatakan bahwa punya satu
musuh sudah terlalu banyak sedang punya seribu teman
masih kurang banyak!”
Si gadis tersenyum. “Jadi kau ingin aku
menyelidik lag!, pergi dari sini dan melupakan semua kesenangan yang bisa kita dapatkan saat ini?”
“Kataku harap kau bersabar. Masanya akan
datang aku akan jadi Raja Di Raja dunia persilatan dan kau
kekasih tunggalku....”
Si gadis menarik napas dalam lalu
perlahan-lahan dia berdiri, ”Kalau begitu ada baiknya aku minta diri
sekarang juga,” katanya. Dia membungkuk sedikit untuk memeluk dan
mencium Pangeran Matahari. Namun dengan gerakan nakal dia
menggoyangkan bahu dan pinggulnya. Pakaian tipis yang melekat di
tubuhnya serta merta merosot jatuh ke lantai. Ketika Pangeran
Matahari balas memeluk maka dia merangkul tubuh si gadis. Kalau
tadi sang Pangeran selalu menolak ajakan si gadis maka kini dalam
keadaan seperti itu dia tidak dapat menahan gelegak darahnya. Dia
berdiri dan slap hendak mendukung tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba,
“Braaakkkl”
“Braaakkkl”
Pangeran Matahari tak kurang terkejutnya.
Tampangnya merah mengelam, rahangnya menggembung hingga
wajahnya berubah seperti jadi empat persegi!
Orang yang terkapar di lantai hanya mengenakan sehelai cawat hitam. Sekujur tubuhnya mulai dari muka sampai ke kaki berwarna sangat hitam dan liat. Pada dua bahu dan tengkuknya sampai ke punggung ada daging aneh berbentuk sirip ikan. Mata dan bibirnya merah.
Pangeran Matahari kerenyitkan kening. Kedua
matanya mendelik tak berkesip menyaksikan bagaimana
sepasang tangan manusia hitam itu, mulai dari pergelangan
sampai ke ujung-ujung jari tampak hancur berpatahan. Tulang-tulangnya
mencuat putih menggidikkan.
“Jahanam! Apa yang terjadi dengan dirimu!
Mana kawanmu?!” Pangeran Matahari membentak seraya
melangkah ke hadapan orang hitam yang terkapar di lantai.
“Ka... kawanku mati!” jawab orang hitam.
“Mati?! Apa yang terjadi?!”
“Dia... dia mati dibunuh Pendekar 212....”
Tampang Pangeran Matahari berubah. Alisnya
berjingkrak dan daun telinganya seperti mencuat mendengar
ucapan orang hitam itu. Kaki kanannya ditendangkan ke dada orang
itu hingga si hitam ini mencelat dan terbanting ke dinding ruangan.
“Lekas katakan apa yang terjadi!” bentak
Pangeran Matahari.
“Mohon maafmu Pangeran... Kami tidak
berhasil menjalankan tugas yang kau berikan. Kawanku terbunuh.
Aku sendiri kau bisa saksikan. Kedua tanganku dibikin hancur
oleh Pendekar 212!”
Kembali sepasang mata Pangeran Matahari
memperhatikan kedua tangan orang hitam itu seolah tak
percaya. Tulang-tulangnya mencuat berpatahan.... “Ilmu apa yang telah
dipakai mencelakai orang ini? Kalau memang Pendekar 212 yang
melakukan setahuku dia tidak memiliki ilmu kepandaian begini rupa....”
Pangeran Matahari mendongak. Otaknya
berpikir keras. Tetap saja dia tidak bisa menerima keterangan si
hitam.
“Kau berdusta! Ini bukan pekerjaannya
Pendekar 212!” bentak sang Pangeran. “Dia tidak punya ilmu
kepandaian mematahkan tulang seperti ini! Aku tahu betul!”
“Saya bersumpah memang dia yang melakukan.
Kami mencegatnya di pantai selatan...”
Pangeran Matahari terdiam sesaat. “Jika kau
memang telah berhadapan dengan Pendekar 212, aku ingin
mencocokkan ciri-ciri jahanam itu dengan apa yang kau saksikan.
Bagaimana keadaan rambutnya?”
“Hitam lebat dan… dan gondrong..,” jawab si
hitam.
“Apa dia mengenakan ikat kepala kain putih
di keningnya?”
Si hitam menggeleng.
“Hemmmmm....” Pangeran Matahari bergumam.
Kecurigaan bahwa si hitam itu berdusta semakin besar.
“Apa dia mengenakan pakaian serba putih?”
“Ti... tidak Pangeran. Dia mengenakan baju
dan celana hitam....”
“Jahanam! Jelas orang itu bukan Pendekar
212! Seumur hidupnya dia tidak pernah mengenakan
pakaian hitam! Kau berani mendustaiku!”
”Saya bersumpah saya tidak berdusta
Pangeran...”
“Manusia keparat! Aku tanya padamu, apa
benar kawanmu sudah mampus?!” bertanya Pangeran Matahari
seraya bungkukkan tubuhnya sedikit.
“Dia memang telah menemui ajal Pangeran.
Saya menyaksikan sendiri...” jawab si hitam yang masih
terkapar di lantai sambil menduga-duga apa maksud pertanyaan Pangeran
itu karena sebelumnya dia telah menjelaskan mengenai
kematian kawannya.
Di hadapan si hitam Pangeran Matahari
menyeringai. Tiba-tiba seringai itu lenyap lalu, terdengar
suaranya berucap. “Kalau begitu kau susullah temanmu! Aku tidak butuh manusia
jelek dan tolol macammu!”
Habis berkata begitu Pangeran Matahari
ayunkan tangan kanannya. Bersamaan dengan itu dia alirkan
tenaga dalam dari bagian dada di mana menempel Kitab Wasiat Iblis.
Pangeran Matahari tahu betul bahwa si hitam memiliki ilmu kebal
tertentu. Dia tak mau susah. Karenanya dia sengaja meminjam kekuatan
ganas yang ada pada kitab iblis itu.
“Praakkk!”
Kepala manusia hitam rengkah mengerikan.
Tubuhnya terbanting ke lantai tanpa nyawa lagi!
Masuk ke ruangan dalam Pangeran Matahari dapatkan gadis kekasihnya
duduk di atas sebuah bantalan tebal dan empuk. Keadaannya masih
polos seperti tadi. Pakaian tipisriya dipergunakan menutupi
auratnya yang penting tapi itu pun tidak mampu menutupi seluruh
tubuhnya.
“Aku hampir yakin kalau Pendekar 212 memang
sudah menemui ajal. Tapi aku merasa perlu
menunggu sampai Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan muncul
membawa kepala musuh besarku itu....”
“Apakah sampai saat ini kau masih
merahasiakan tentang diriku terhadap mereka?”
Pangeran Matahari mengangguk.
“Sebaliknya bagaimana dengan saudaramu. Aku
tidak ingin....”
“Kau tak usah khawatir Pangeran. Sudah lama
sekali aku tidak mendengar mengenai dirinya. Entah berada di
mana...” jawab si gadis yang duduk di atas bantalan empuk sambil
menjulurkan kakinya dan balik pakaian tipis.
Memandangi tubuh si gadis pikiran sang
Pangeran jadi berubah. Kalau sebelumnya dia tidak berniat
untuk bersenangsenang kini setelah membunuh lelaki hitam tadi
rangsangan dalam dirinya tiba-tiba saja menggelegak. Dia
melangkah ke hadapan si gadis. Perlahan-lahan pakaian tipis yang
menutupi tubuh si gadis itu ditariknya.
-- == 0O0 = -