Cari Blog Ini

Kamis, 10 Januari 2013

WIRO SABLENg delapan sabda dewa (DUA)

WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO

DELAPAN SABDA DEWA




PADA saat yang sangat menetukan itu dimana ajal Pendekar212 Wiro Sableng boleh dikatakan hanya tinggal sekejapan mata sajalagi, satu persatu muncul wajah-wajah orang yang paling dekatdengan dirinya. Mula-mula wajah Eyang Sinto Gendeng sang guru sinenek sakti, lalu wajah kakek Segala Tahu, sesaat terbayang tampangDewa Ketawa. Lalu muncul wajah Bidadari Angin Timur. Terakhirsekali muncul wajah Ratu Duyung.

“Ra… tu…” Wiro membuka mulut. “Tolong diriku…” tapiucapan itu tak pernah keluar. Malah air laut masuk semakin banyakke dalam mulutnya,. Kepalanya semakin tertekuk ke belakang.Mendadak entah bagaimana muncul satu wajah nenek berwarnaputih. Hidungnya kecil dan bagian sekitar mulutnya ditumbuhi bulu bulu halus panjang. Nenek ini menyeringai memperlihatkan gigigiginyayang kecil serta lidahnya yang merah. Lalu sepasang matanyayang kehijauan membersitkan sinar menyilaukan yang sesaatmembuat Wiro jadi tersentak.

“Nenek Neko… Nenek Muka Kucing...” ujar Wiro. Lalu terjadilahsatu hal yang luar biasa. Mendadak sontak Wiro ingat sesuatu.“Koppo… Ilmu Mematahkan Tulang!” desisnya. Satu kekuatan seperti
muncul dalam diri Pendekar 212. Kedua tangannya bergerak memegang dua jari-jari kedua tangan makhluk hitam yangmencekalnya. Lalu, “Trak… trak.. trak… trak… trakk!”

Makhluk hitam menggeliat. Wajahnya menunjukkan kesakitan setengah mati. Mulutnya terbuka lebar. Kedua matanya membeliak. Jari-jari tangannya hancur berpatahan. Tulangnya mencuat keluar. Karena tak sanggup menahan sakit makhluk ini lepaskan cekalan lalu berenang menjauhi Wiro. (Mengenai Nenek Neko dan ilmu
mematahkan tulang yang disebut koppo silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai)

Wiro sendiri yang tak ada niat mengejar cepat naik ke permukaan laut. Dia muncul di atas air dengan megap-megap. Ada cairan merah keluar dari mulutnya. Dia memandang berkeliling. Dikejauhan kelihatan perahunya terapung-apung dipermainkan ombak. Dengan susah payah Wiro berenang mencapai perahu itu. Perlahanlahan dia naik ke atas perahu. Rasa sakit pada dadanya belum lenyap. Malah kini napasnya bertambah sesak. Sekujur tubuhnya terasa letih dan tulang-tulangnya laksana tanggal dari persendian.

Ketika dia hendak membaringkan tubuhnya di lantai perahu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh di belakangnya. Wiro putar kepalanya. Sepasang matanya terpentang lebar ketika melihat siapa adanya orang yang duduk berjuntai di atas sebua perahu putih yang tiba-tiba saja muncul di tempat itu tanpa diketahuinya.

“Makhluk Pembawa Bala. Manusia celaka…!” Wiro berusaha bangkit tapi tubuhnya yang lemah itu terhenyak kembali ke lantai perahu. Dari balik kain penutup wajahnya kembali terdengar suara tawa mengekeh orang bercaping yang sekujur tubuhnya penuh koreng membusuk.

Tiba-tiba sosok Makhluk Pembawa Bala yang mengenakan pakaian sebentuk jubah melesat ke udara. Dia mendarat di atas perahu, sengaja tepat di atas tubuh Wiro. Wiro sendiri saat itu sudah tidak berdaya dan setengah pingsan. Orang yang bercaping tegak dengan satu kaki menginjak perut sedang kaki satunya menginjak dada Wiro. Dia mendongak lalu dari mulutnya kembali terdengar suara tawa bergelak.

“Mujur tak dapat diraih, celaka tak bisa ditolak! Kalau dulu kau masih bias lolos dari tangnaku, saat ini jangan harap bisa lepas! Nyawamu memang sudah ditakdirkan harus amblas di tanganku! Ha… ha... ha… ha…!” suara tawa orang bercaping itu lenyap. Kaki kanannya diangkat lalu dihantamkan ke arah tenggorokan Pendekar 212 yang terkapar di lantai dalam keadaan pingsan!

Hanya setengah jengkal lagi kaki kanan Makhluk Pembawa Bala akan menghancurkan leher dan membunuh Pendekar 212 tibatiba dari laut sekitar perahu melesat enam sosok tubuh. Bagian atas merupakan tubuh gadis cantik berambut panjang menutupi dada yang putih polos sedang bagian bawah merupakan ekor ikan besar.Keenam gadis ini bukan lain adalah anak buah Ratu Duyung penguasa lautan di kawasan itu.

“Tahan!”

Enam gadis berteriak berbarengan. Gerakan Makhluk Pembawa Bala serta merta terhenti. Memandang berkeliling dan melihat siapa yang ada di sekitar perahu tampangnya yang tertutup kain cadar jadi berubah. Hatinya menjadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan gelisah.

“Jangan berani mencampuri urusanku!” Makhluk Pembawa Bala membentak.

Enam gadis diam saja namun diam-diam mereka luruskan jari telunjuk tangan kanan masing-masing.

Melihat tidak ada yang bergerak Makhluk Pembawa Bala cepat teruskan hantaman kakinya ke leher Wiro. Pada saat itu juga enam jari si gadis memancarkan sinar biru. Ketika mereka mengangkat jari masing-masing dan mengacungkan ke arah perahu, enam sinar biru berkiblat, memapas ke arah tempat kosong antara kaki Makhluk Pembawa Bala dengan leher Pendekar 212 yang menjadi sasaran.

Makhluk Pembawa Bala berseru keras. Cepat dia tarik serangannya. Kaki kanannya diangkat. Lalu terdengar jeritan orang ini. Tiga ujung jari kakinya putus. Bagian sekitarnya laksana dipanggang. Ujung jubahnya mengepulkan asap pada bagian yang kelihatan hangus.

“Kalau kau bermaksud meneruskan niat jahat membunuh lawan yang tak berdaya, kematian akan menjadi bagianmu lebih dulu!,” salah seorang dari enam gadis bertubuh setengah manusia setengah ikan membentak.

Mulut orang bercaping yang terlindung di balik kain penutup komat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Dia maklum jangankan enam orang, satu orang saja sulit baginya menghadapi gadis anak buah Ratu Duyung.

“Katakan pada Ratumu, lain kali sebaiknya dia sendiri yang datang untuk bertemu muka denganku!”

“Ratu kami tidak layak hadir di depan manusia tak berguna sepertimu!” jawab salah seorang gadis.

Makhluk Pembawa Bala menggeram dalam hati. Dia melompat dari atas perahu Wiro, masuk ke dalam perahu putihnya.

“Sebelum kau pergi dari sini kami perlu mengajukanbeberapa pertanyaan!”

Makhluk Pembawa Bala walaupun merasa jeri terhadap enam gadis namun karena merasa ditekan lantas menukas. “Jangan membuat aku jadi marah! Katakan apa mau kalian!?”

“Kami perlu tahu siapa kau sebenarnya dan apa perlunya seja sekian lama gentayangan di kawasan ini!”

“Hemm… Itu rupanya pertanyaan kalian?” Makhluk Pembawa Bala mendongak lalu tertawa bergelak. “Katakan pada Ratumu, jika dia mau datang menemuiku baru aku akan menjawab pertanyaan kalian!”

“Kau minta mampus! Terima kematianmu!”

Enam larik sinar biru menyambar ke arah Makhluk Pembawa Bala. Orang ini cepat menyambar caping di atas kepalanya. Lalu dengan sigap caping yang terbuat dari bambu itu dikibaskannya menangkis serangan enam larik sinar biru.

“Wussss!”

Makhluk Pembawa Bala menjerit keras. Caping bambu di tangannya hancur berantakam. Kepingan-kepingan caping itu bertebaran di udara dalam keadaan terbakar lalu jatuh ke dalam laut. Si Makhluk Pembawa Bala sendiri mencelat mental dari atas perahu sampai beberapa tombak lalu tercebur masuk ke dalam laut. Enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung menunggu sampai beberapa lamanya.

“Tubuhnya tidak muncul lagi…,” berkata gadis di ujung kanan. “Pasti dia sudah jadi mayat dan tenggelam ke dasar laut. Beberapa hari di muka baru mayatnya akan mengambang di permukaan laut…,” berkata gadis lainnya. 
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” salah satu dari mereka bertanya.

“Sesuai perintah Ratu kita harus menolong pemuda ini. Ada darah di sekitar mulutnya. Jelas dia mengalamai luka dalam cukup parah… lekas berikan obat padanya. Aku akan menotok leher dan dadanya.” Lalu gadis itu membuka baju hitam Wiro di bagian dada. 

Sesaat dia pandangi bagian tubuh yang kokoh penuh otot itu. Pada bagian tengah dada terdapat rajah tiga angka yang tak asing lagi. Angka 212. Entah sadar entah tidak, gadis ini lalu mengusap dada Pendekar 212 dengan lembut. Melihat hal ini kawan di sampingnya berbisik, “Apa yang kau lakukan!? Jangan berani berbuat macam-macam. Kalau sampai Ratu memantau lewat cermin saktinya dan melihat apa yang kau lakukan, kita semua di sini habis dihukumnya! Lekas totok pemuda itu!”

Wajah gadis yang barusan mengusap dada Pendekar 212 tampak bersemu merah. Dia berpaling dan menjawab, “Tak perlu bicara keras. Jangan munafik. Aku tahu kau pun sebenarnya sangat tertarik pada pemuda gagah ini…”

“Sudah! Lekas totok saja tubuhnya. Aku segera akan memasukkan obat ke dalam mulutnya!”

Gadis pertama segera mengusapkan dua ujung jarinya di bagian leher dada Pendekar 212. Setelah itu gadis kawannya memasukkan sebutir obat berwarna biru ke dalam mulut Wiro. Sekali lagi gadis pertama mengusap bagian leher Wiro. Obat yang ada di dalam mulut murid Sinto Gendeng meluncur ke dalam tenggorokannya terus ke perut.

“Sebelum matahari tenggelam dia akan siuman dan luka dalamnya akan sembuh. Sekarang, sesuai perintah Ratu kita harus mendorong perahu ini ke arah tenggara dan meninggalkannya di satu
tempat…”

Enam orang gadis itu lantas berenang smbil mendorong perahu kecil di atas mana Pendekar 212 Wiro Sableng masih terbujur dalam keadaan pingsan.

-- == 0O0 == -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar