Cari Blog Ini

Kamis, 10 Januari 2013

WIRO SABLENg delapan sabda dewa (SATU)


WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO

DELAPAN SABDA DEWA


WALAU matahari tertutup awan kelabu tebal namun udara di permukaan laut terasa panas bukan main. Wiro pandangi baju dan celana putih kotor yang terletak di lantai perahu. Dia berpikir-pikir apakah akan menanggalkan pakaian hitam pemberian Ratu Duyung yang saat itu dikenakannya lalu menggantikannya dengan pakaian putih dekil itu. Dia tak biasa berpakaian serba hitam seperti itu. Mungkin itu sebabnya dia merasa sangat panas. Memandang berkeliling Wiro tidak melihat lagi perahu yang ditumpangi Dewa Ketawa. Di kejauhan kelihatan beberapa pulau bertebaran di permukaan laut.

Sesaat wajah cantik jelita serta sepasang mata biru mempesona Ratu Duyung terbayang di pelupuk mata Pendekar 212. “Gadis aneh..,” kata Wiro dalam hati. “aku tidak mau munafik kalau merasa tidak suka kepadanya dan ingin bertemu dia lagi. Tapi mengingat permintaannya…”

Wiro geleng-geleng kepala sambil usap tengkuknya, “Menurut penglihatan Ratu Duyung lewat cermin saktinya ada sebuah pulau aneh yang terdiri dari gunung, bukit dan batu merah melulu. Dia tak mampu melihat lebih jelas karena ada satu daya tolak luar biasa. Mungkin sekali itu tempat kediaman Raja Obat? Letaknya jauh di tenggara. Berarti di jurusan sebelah sana…” Wiro berpikir-pikir. “Mungkin terletak jauh di balik gugusan pulau itu.” Setelah memandang ke langit, Wiro akhirnya memutuskan untuk menuju ke pulau itu. Di membelokkan perahunya kearah tenggara.

Menjelang sore sinar sang surya meredup dan udara yang tadinya sangat panas perlahan-lahan terasa sejuk. Lalu tiba-tiba saja dia teringat pada manusia bercaping yang tubuhnya penuh koreng itu.
“Aku tak dapat memastikan siapa adanya itu manusia sialan yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu! Mengapa dia berusaha membunuhku secara licik! Lalu kemana dia kaburnya? Kukira sarangnya di sekitar lautan sini. Kalau bertemu jangan harap aku mau memberi ampun…”  

Selagi pendekar 212 berpikir-pikir seperti itu, mendadak sepasang telinganya mendengar suara sesuatu diantara desau angin laut. Suara itu datang dari sisi kiri kanan perahu yang tengah dikayuhnya. Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke kanan. Dia tak dapat melihat apa-apa tapi dia yakin sekali di bawah permukaan air laut ada sesuatu yang bergerak mendekati perahunya. Wiro palingkan kepala ke kiri. Hal yang sama dirasakannya. Ada benda bergerak meluncur cepat mendekat perahu dari arah kiri. Hatinya berdetak tidak enak.

“Ikan buas tidak akan secerdik itu menghadang perahu dari dua arah berlawanan,” pikir Pendekar 212. “Heemm… saatnya aku mencoba ilmu menembus pandang yang diberikan Ratu Duyung!”
Cepat Wiro atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalamnya pada kedua matanya. Dia memandang lekat-lekat ke arah permukaan air laut di sebelah kiri perahu dan kedipkan sepasang matanya dua kali.

“Huh!” Murid Sinto Gendeng jadi melengak sendiri. Dengan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung saat itu samar-samar dia melihat sesosok tubuh manusia berkulit sangat hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah benda berbentuk tombak pendek bermata dua. Ketika Wiro palingkan pandangannya ke kanan hal yang sama terlihat. Seorang berkulit sangat hitam menyelam dalam laut, meluncur cepat ke arah perahunya, membawa senjata tombak bermata dua!

Dua makhluk dalam air mencapai tepi perahu dalam waktu
yang bersamaan.
“Byarr! Byarr!”

Dua makhluk yang menyelam mencuat ke permukaan air. Saat itu juga Wiro melihat dua sosok manusia berkulit sangat hitam, berambut pendek memiliki mata tanpa alis berwarna merah. Bibir mereka yang tebal juga berwarna sangat merah.

Wiro perhatikan bagian tubuh dua makhluk yang menyembul dari permukaan air laut itu. Pada bahu kiri kanan dan bagian tengkuk ada sebentuk daging berbentuk daging berbentuk sirip. Selain itu tubuh keduanya penuh otot tanda memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu kehebatan mereka adalah kemampuan untuk berenang jarak jauh dan menyelam di bawah permukaan air laut.

“Siapa kalian?” bentak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua makhluk hitam menyeringai. Ternyata bukan Cuma mata dan mulut mereka saja yang berwarna merah, tapi lidah dan gigi mereka pun berwarna merah. Anehnya barisan gigi-gigi mereka berbentuk kecil-kecil runcing seperti gigi ikan. Dan lidah serta barisan gigi-gigi itu bergelimang cairan merah seperti darah!

Dari mulut kedua mahkluk hitam ini kelular suara jeritan keras. Lalu sosok tubuh mereka melesat ke udara. Tombak hitam bermata dua yang mereka pegang menderu ke arah rusuk kiri dan kepala bagian kanan Wiro.

“Kurang ajar!” maki Wiro. Secepat kilat dia jatuhkan tubuh ke lantai perahu. Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan pendayung di tangan kanannya ke tubuh makhluk di sebelah kanan.

“Bukkk!”

“Traakk!”

Kayu pendayung menghantam dada makhluk hitam sebelah kanan dengan telak. Kayu pendayung patah dua sebaliknya makhluk yang kena digebuk cuma menyeringai. Masih memegangi patahan kayu pendayung, Wiro gulingkan diri ke bagian kepala perahu. Ketika dia baru saja sempat berdiri dua mahkluk yang masih berada dalam air laut bergerak mendekatinya dan langsung menyerbu lagi.

Kali ini mereka pergunakan tombak masing-masing untuk menusuk bagian bawah perut Pendekar 212! Sambil melompat cepat ke udara Wiro keluarkan jurus “kincir padi berputar”. Kaki kanannya membabat deras ke arah kepala makhluk berkulit hitam di sebelah kiri perahu sedang untuk yang di sebelah kanan dia lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”.

“Praakk!”

Tendangan kaki kanan Wiro menghantam kepala makhluk sebelah kiri.
“Pecah kepalamu!” ujar Wiro begitu dilihatnya lawan mencelat mental lalu amblas ke dalam laut.

Makhluk di sebelah kanan keluarkan pekik keras melihat kawannya kena tendangan Wiro. Tubuhnya melesat ke atas dan coba menusukkan tombaknya ke arah tenggorokan Pendekar 212. tapi gumpalan angin sakti yang keluar dari tangan kanan Wiro menghantam dadanya lebih dulu. Seperti temannya, makhluk yang satu ini terpental dan masuk ke dalam laut diiringi jerit menggidikkan.

Wiro menarik nafas lega. Dalam hati dia mengomel. “Belum lama merasa tenteram tahu-tahu ada saja orang-orang yang ingin membunuhku. Siapa mereka…? Kaki tangan orang tua berpenyakit kulit berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu? Atau…,” belum sempat Wiro mengakhiri kata hatinya tiba-tiba di kiri kanannya terdengar teriakan keras.

“Huaahhh!”

“Huaahhh!”

Dua makhluk berkulit hitam yang tadi disangkanya sudah menemui ajal dan tenggelam tiba-tiba mencelat muncul dari dalam laut. Tubuh mereka melesat ke udara demikian tingginya hingga di lain kejap keduanya telah berada di atas Wiro.

Meskipun terkejut besar melihat kejadian itu karena menyangka dua makhluk tadi telah menemui ajalnya namun Wiro tak punya kesempatan untuk berpikir lebih lama. Begitu dia mendongak untuk melihat kedudukan lawan, dari udara makhluk-makhluk aneh ini telah menukik, lancarkan serangan berupa tusukan tombak ke punggung dan bagian belakang kepala!

“Mereka tidak main-main. Mereka memang ingin membunuhku!” ujar Wiro. Secapt kilat dia melompat lalu jatuhkan diri ke lantai perahu. Dua serangan terus memburu. Wiro balikkan tubuhnya. Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi menggeprak ke samping. Kaki kanan menghantam ke udara. Inilah jurus yang disebut “membuka jendela memanah matahari”.

Hantaman tangan Wiro memukul mental dua tombak di tangan dua lawannya. Sementara tendangan kaki kanan menyodok masuk ke perut salah satu dari dua makhluk berkulit hitam itu.

“Buukk!”

Makhluk yang kena hantaman tendangan menjerit keras. Tapi tubuhnya tidka mental karena dengan cepat kedua tangannya mencekal pergelangan kaki Wiro. Selagi Wiro berkutat berusaha melepaskan cekalan itu, makhluk kedua berkelebat dan hantamkan satu jotosan ke dada Pendekar 212!

Wiro merasa dadanya seperti amblas! Tangan kanannya dihantamkan ke belakang melepaskan pukulan “benteng topan melanda samudra”, membuat makhluk hitam di belakangnya menjerit keras dan mental masuk ke dalam laut. Sambil menahan sakit Wiro berusaha lepaskan kakinya yang dicekal. Perahu kecil bergoyang keras. Tiba-tiba si makhluk berteriak keras dan gerakkan kedua tangannya yang mencekal kaki Wiro. Saat itu juga tubuh murid Sinto Gendengn itu mencelat ke udara lalu melayang jatuh ke dalam laut!

Di dalam air, Wiro cepat berenang berusaha mencapai perahu. Dia tahu dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian luar biasa dalam hal berenang dan menyelam. Menghadapi mereka di dalam laut besar sekali bahayanya, apalagi saat itu dia telah cidera akibat pukulan salah satu lawan. Namun sebelum Wiro berhasil mencapai perahu, salah satu kakinya tiba-tiba kena dicekal lawan yang tahutahu sudah berada di belakangnya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil menendang membuat gerakan jungkir balik di dalam air.
Kakinya memang bisa lolos namun begitu dia berbalik dua lawan sudah menggempurnya kembali.

“Makhluk-makhluk hitam ini rupanya tahan pukulan dan tendangan. Biar kuhantam dengan pukulan sinar matahari. Tapi…” Wiro jadi meragu. Seumur hidup dia belum pernah melepaskan pukulan sakti itu di dalam air. Apakah dia sanggup melakukannya dan apakah pukulan sakti itu bisa ampuh seperti jika dilepaskan di daratan?

Makhluk pertama hanya tinggal satu tombak di depan Wiro. Murid Sinto Gendeng segera salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Semula dia agak meragu namun ketika melihat tangan itu sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih menyilaukan maka legalah Wiro. Dia segera lipat gandakan tenaga dalamnya.

Di depan sana makhluk yang berada paling depan terkesiap dan hentikan gerakannya berenang sewaktu dilihatnya tangan kanan Wiro memancarkan sinar putih menyilaukan dan air laut di sekitar
tempat itu mendadak sontak menjadi panas. Dua makhluk perlahanlahan berenang mundur, tak tahan oleh hawa panas yang seperti hendak merebus mereka. Wiro tidak tunggu lebih lama lagi. Dia hantamkan tangan kanannya ke arah makhluk paling depan. Sinar putih menyilaukan berkiblat dalam laut. Satu gelombang air yang mendadak sontak menjadi panas laksana mendidih membuntal deras lalu menyapu dahsyat ke arah makhluk hitam paling dekat. Makhluk ini berusaha menghindar dengan melesat ke kiri tapi gelombang air laut yang panas menyapu lebih cepat. Tubuhnya kelihatan menggeliat merah dan mengepul lalu terlempat jauh kemudian seperti sehelai daun kering melayang jatuh ke dasar laut.

“Heemm… mana kawannya…,” ujar Wiro dalam hati sambil memandang berkeliling. Dadanya yang terkena pukulan lawan tadi mendenyut sakit. Napasnya terasa sesak. Dia tak mungkin berada lebih lama dalma air. Napasnya sesak. Air laut mulai tersedot di hidung dan mulutnya. Selagi dia berusaha mengetahui dimana lawan yang kedua tiba-tiba ada satu lengna mencekal lehernya. Ketika dia coba melepaskan diri, tangan yang lain menjambak rambutnya. Dua tangan kemudian bergerak. Gerakannya jelas hendak mematahkan batang leher Pendekar 212!

Wiro hantamkan dua sikutnya sekaligus ke belakang.

“Bukkk!”

“Bukkk!”

Hantamannya tepat mendarat di tubuh orang yang mencekalnya dari belakang tapi seolah tidak dirasakan malah cekalan semakin ketat. Kepala Wiro mulai tertekuk ke belakang. Matanya pedas tak mampu dibukakan lagi, apalagi untuk melihat. Air laut mengucur masuk ke dalam tenggorokannya lewat mulut dan hidung!

“Celaka! Tamat riwayatku!” ujar Wiro. Dia kumpulkan seluruh tenaga yang ada, kerahkan tenaga dalam. Namun cekalan makhluk yang mencekalnya dari belakang tidak dapat dilepaskan! Sementara itu napasnya sudah menyengal dan kekuatannya laksana punah. Sekujur tubuhnya menjadi lemas walau otaknya masih bisa bekerja.

Lawan yang membuat Wiro tidak berdaya ternyata berlaku cerdik. Sambil terus mencekal berusaha mematahkan batang leher Pendekar 212 dia membuat gerakan yang membawa Wiro bergerak semakin jauh menuju dasar laut dimana tekanan air lebih kencang. Tekanan ini membuat Wiro semakin lemas tak berdaya.

-- == 0O0 == -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar